Selasa, 02 Oktober 2018

BERBURU EMAS HIJAU DI PULAU BANDA (Road Show mencari Emas Hijau Episode 2)


Pelabuhan Tulehu - Ambon
Setelah semalamam ditonton tv (karena tertidur didepan tv yang masih menyala hingga pagi), jam 06.00Wit aku sudah bangun untuk sholat shubuh dan mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang menuju kepulauan Banda. Jam 07.30 pak Angki dari Disparda Provinsi Maluku sudah mengetuk pintu kamarku untuk mengantarku ke pelabuhan Tulehu. Masih sempat menikmati sarapan ala kadarnya di hotel Marina ini. Perjalanan menuju pelabuhan Tulehu, memakan waktu 45 menit dari kota Ambon, setelah sempat mampir terlebih dahulu di Kantor Disparda Provinsi Maluku yang berada searah dengan pejalanan kami untuk menjemput pak Madi.
Pelabuhan Tulehu yang berada di Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku tengah, dari pelabuhan ini kapal cepat, kapal kayu dan speedboat melayani beberapa rute perjalanan ke pulau-pulau disebelah timur teluk Ambon  di Provinsi Maluku  di layani, seperti Pelabuhan Amahai di Pulau Seram, Pulau Saparua, hingga Kepualauan Banda.
Para porter berebut mangsa
Begitu tiba di Pelabuhan Tulehu, para porter barang sudah menyerbu mobil kami untuk menawarkan jasa tenaga mengangkut barang. Mirip dengan apa yang aku lihat di Youtube, mereka memeriksa mobil kami seperti orang yang mencari sesuatu, mungkin mereka tidak berniat kriminal dan biasa bagi mereka, namun untuk tamu-tamu yang tidak terbiasa perlakuan seperti itu membuat perasaan kurang nyaman dan aman.
Tak lama menunggu, pak Madi telah membeli 2 buah tiket kapal cepat tujuan Banda Neira, harganya cukup mahal untuk 1 orang penumpang kelas ekonomi adalah Rp 400.000, sedang untuk kelas VIP Rp 600.000. Hanya aku dan pak Madi yang ke Pulau Banda, sedang pak Angki kembali ke kota Ambon. Kapal cepat Cantika Torpedo yang diproduksi oleh perusahaan Indonesia ini, cukup nyaman dengan AC lengkap dengan alat perlengkapan keselamatannya. Dari kapasitas sekitar 100 penumpang hanya sebagian yang terisi yang sebagian besar adalah wisatawan asing.
Kapal cepat yang membawa kami ke Banda Neira
Tepat jam 09.00 Wit kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan, terlihat disekitar pelabuhan beberapa kapal wisata yang berlabuh. Selama perjalanan selama 7 jam, ombak besar dan laut biru gelap (yang menandakan kedalaman laut lebih dari 4000m) menjadi pemandangan. Jam 16.00Wit kapal kami mendekati kepulauan Banda.
Pulau Api
Puncak gunung Api yang berada ditengah-tengah kepulauan terlihat jelas, memasuki teluk terlihat dua buah kapal  pesiar kecil baik yang berbentuk kapal layar Phinisi dan kapal cepat mewah. Tulisan Welcome to Banda Neira, menjemput kami di kepulauan yang sudah terkenal ke seantero dunia sejak abad 17.
Kapal Phinisi dan Kapal Pesiar yang membawa wisatawan asing
Turun dari kapal, penampakan yang sama juga dirasakan seperti saat di pelabuhan Tulehu, Porter menyerbu kami seperti semut yang menghampiri gula yang baru datang...Pelabuhan Banda Neira tidak terlalu besar, namun karena lautnya yang dalam, tiap 2 hari sekali akan ada Kapal PELNI besar yang bersandar di pelabuhan ini.
Selamat datang di Banda Neira
Keluar dari Pelabuhan, sudah terlihat bangunan-bangunan kuno peninggalan jaman VOC yang masih berdiri kokoh, beberapa diantaranya masih dibiarkan seperti aslinya, khususnya beberapa rumah bekas pengasingan tokoh-tokoh pergerakan nasional (Hatta, Syahrir, HOS Cokroaminoto, Ciptomagunkusumo, dll), Museum serta Guest House sebagian lainnya sudah berubah peruntukan seperti sekolah/ Perguruan Tinggi atau dihuni oleh beberapa ahli waris. 
Salah satu bangunan tua kota Banda Neira


Belum ditempatkan pada tempatnya



Delfika Guest House


Mural Welcome to Banda Neira juga menghiasi beberapa dinding bangunan kuno, sepanjang perjalanan menuju penginapan, aku melihat beberapa artefak bersejarah seperti meriam-meriam kuno masih terserak di jalanan, mungkin belum sempat diselamatkan atau ditempatkan pada tempat yang seharusnya.
Mural di dekat Pelabuhan
Cilu Bintang Estate, menjadi tempat menginap selama berada di Banda Neira ini, walaupun cukup jauh dari pantai dan pelabuhan dibandingkan dengan Guest House lainnya, namun posisinya sangat strategis karena berada di antara situs-situs bersejarah Kepulauan Banda, yakni Benteng Belfica yang berada didepannya, Benteng Nassau yang berada di Sebelah Kanannya serta Tugu Parigi Rante disebelah kirinya...serta Rumah Sakit dan kantor Pos Banda yang berada tepat dibelakang Guest House ini.
Pintu Gerbang Cilu Bintang

Memasuki Cilu Bintang, serasa memasuki alam kolonial saat VOC masih berada di pulau ini, desain bangunan yang khas dengan pilar-pilar besar, serta atap bangunan yang tinggi, membuat sirkulasi udara terasa nyaman. Welcome drink berupa Teh Pala dan Kayu manis menjadi pelega tenggorokan, setelah menempuh perjalanan panjang. Buah segar pala, cengkih dan kayu manis menjadi hiasan utama guest house ini.
Emas Hijau Pulau Banda

Ornamen-ornamen yang ditampilkan sangat antik dan menarik, beberapa peta dan keramik hiasan dinding masih orisinil, walaupun sebagian lagi hasil reproduksi.
Sambutan ramah yang langsung dilakukan oleh pemilik Cilu Bintang yakni Abba Afrizal, cukup berkesan. Kamar yang disediakan untukku adalah Neira Abba, sebuah kamar standar yang berada dibelakang bangunan besar dan berada dekat dengan kitchen.
Inilah kamar tempatku beristirahat di Pulau Banda
Art Towel


Kesan pertama saat memasuki kamar adalah WOW.... jauh sekali dari banyanganku saat menerima tugas ini. Aku pikir akan tinggal di Homestay sederhana yang hanya memiliki fasilitas sederhana, jauh dari teknologi Internet ataupun televisi dan kemajuan dunia modern lainnya. Ternyata aku keliru, di Cilu Bintang fasilitas kamar bintang lima tersedia disini lengkap dengan fasilitas hot water, wc duduk, wifi... luar biasa. Tak salah jika sebagian besar penghuni Cilu bintang adalah tamu-tamu asing yang berasal dari berbagai negara di Eropa.
Reception Cilu Bntang
Ruang tengah yang sekaligus gallery
Tempat tidur kayu, dengan hiasan tirai kelambu, serta kain tenun khas timor menjadi pusat perhatian kamar ini, nyaman sekali, apalagi terpasang AC yang cukup menyejukkan. Melihat tatanan Handuk yang masih ala kadarnya, keinginan untuk berkreasi muncul skaligus praktek art towel yang besok menjadi bahan pelatihanku. He..he...
Berkeliling melihat fasilitas Cilu Bintang, membuatku semakin terkesan, berbagai benda-benda bersejarah ditampilkan sebagai ornamen dan juga galeri yang menjadi suvenir bagi pengunjung yang berminat memilikinya.
 
Beberapa koleksi peninggalan VOC

Ornamen dan photo-photo yang tersusun rapih
Rasa ingin mengetahui lebih banyak tentang pulau bersejarah ini, membuatku segera berkemas untuk berkeliling sebelum matahari tengelam, masih ada 2 jam sebelum Azan Magrib berkumandang.. Keluar dari Cilu bintang, terlihat menara suar tinggi yang merupakan peringatan dini Tsunami milik BNPB, dan Kampus Cabang Politeknik Negeri Ambon, yang menempati gedung tua..
Menara Sirene Peringatan Tsunami

Kampus Politehnik Negeri Ambon
Tak disangka, posisi Tugu bersejarah Parigi Rante (sumur tempat pembantaian para pejuang Banda) berada tepat disebelah Cilu Bintang Estate, namun tak terasa sama sekali kesan angker/mistis dari tempat ini, mungkin bagi masyarakat lokal hanyalah tugu biasa. Menyusuri jalanan lebih ke belakang, kantor pos Banda yang mempati bangunan tua, serta Rumah Sakit Banda... belok kesebelah kanan sudah nampak situs-situs bangunan tua yang menjadi ikon pulau Banda Neira, yakni istana mini yang dibangun oleh.... sebagai rumah gubernur jenderal, rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal para pejabat VOC serta  bangunan Societe (tempat berkumpulnya mereka),
Tugu Peringatan Parigi Rante









Terus menyusuri jalanan menunju ke utara, banyak bangunan-bangunan pemerintahan baru dibangun mulai dari masjid al Muhajiri, kantor Kejaksaan, kantor Polsek Banda, hingga SD, RA dan SMP Negeris 01 Banda. Disamping Polsek Banda, aku temu gedung bersejarah yang menjadi tempat tinggal Dr. Ciptomangukusumo, salah satu tokoh pergerakan yang namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit terbesar dan terkenal di Jakarta. rumah pengasingan ini masih seperti bentuk aslinya, walaupun tetap dipelihara, namun sepertinya belum maksimal dan tak terlalu menarik untuk orang mengunjunginya.

Rumah pengasingan Dr.Ciptomangukusumo
Berjalan menyusuri jl. Dr. Rehatta , yang menjadi jalan utama pulau Banda Neira, semakin banyak bangunan-bangunan bersejarah yang aku temui, yang paling menarik tentunya rumah tinggal Sutan Syahrir dan rumah Dr. Moh Hatta, mereka yang kemudian pernah menjadi orang-orang hebat dan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia (Perdana Menteri Sutan Syahrir 1945-1947 dan Wakil Presiden Moh Hatta 1945-1956).
Rumah Pengasingan Dr. Moh Hatta
Rumah pengasingan Bung Hatta

Masih seperti aslinya

Halaman Belakang

Masih seperti aslinya
Yang menarik adalah bangunan Rutan Banda yang tepat berada disamping Rumah pengasingan Moh Hatta. Sempat berbincang dengan sipir penjaga rutan, jumlah tahanan rutan ini tak terlalu banyak. Tepat didepan rutan ini adalah Pengadilan Tinggi Ambon Cabang Banda, jadi tahanan selesai divonis tak perlu berkedaraan langsung diantar berjalan kaki ke rumah tahananya, praktis...
Rutan Pulau Banda

Sepanjang jalan banyak rumah-rumah tua yang tak berpenghuni (menurut keterangan ibu Dilla, istri dari pak Afrizal, dulu rumah-rumah tersebut dihuni oleh orang-orang Indo yang menjadi keturunan dari orang-orang Belanda Banda, namun sejak terjadinya perang sektarian Maluku yang berlangsung 1999 – 2000, banyak dari mereka yang beragama kristen mengungsi dan meninggalkan kota Banda yang mayoritas beragama Islam). Beberapa dinding rumah kosong dipasang mural-musal sejarah yang menarik. Sebuah desa atau kelurahan di Banda mereka sebut dengan negeri, jadi jangan kaget kalau masyarakat banda sering menyebut mereka berasal dari negeri dwiwarna atau negeri nusantara, untuk menyebutkan asal desa mereka.
Batas antar negeri

Mural di dinding rumah tak bertuan
Salah satu benteng yang masih berdiri kokoh adah Benteng belgica, yang bentuknya segilima (pentagon). Benteng ini mulai dibangun tahun 1611  Oleh Gubernur Jenderal Pieter Both, diatas bukit setinggi 30 meter dpl. Benteng ini sebagai penganti Benteng Nassau yang berada dipinggir pantai tepat dibawah bukit dan sering menjadi sasaran empuk  penduduk asli Neira. Adrian de Leeuw tercatat sebagai arsitek yang merubah benteng Belgica menjadi benteng yang kokoh dan mampu menampung 400 tentara lengkap dengan meriam yang menghadap seluruh penjuru pulau Banda neira atas perintah Admiral Cornelis Speellman.  Dari benteng ini nampak jelas teluk Banda, beserta seluruh pesisir pulau banda besar dan Gunung berapi yang berada dipulau sebelahnya.
Benteng Belgica

Berlatar Gunung Api dengan para Jong Banda
Para Jong Banda
Turun dari Benteng Belgica, sudah menanti Cilu Bintang yang berdiri megah. Mandi dan  bersiap untuk menikmati makan malam bersama seluruh tamu penghuni Cilu Bintang di halaman yang sekaligus menjadi restoran taman, Hidangan ikan bakar dan berbagai masakan khas Banda tersaji. Temanku makan malam adalah Carl seorang pensiunan Jerman, yang sudah berkali-kali berkelana ke tempat-tempat eksotik di Indonesia, banyak cerita yang ia sampaikan tentang berbagai pengalamannya berkeliling Indonesia. Abba Afrizal juga mengenalkan ku dengan beberapa orang penting dalam pembangunan pariwisata Kepualauan Banda, mulai dari Ketua Asita Bung ....Ketua HPI sekaligus wakil Asita, Bung Caesar dan Abba Affrizal Sendiri selaku ketua PHRI Kep Banda. Banyak cerita dan harapan mereka untuk memajukan pariwisata di kepulauan Banda ini.

Senin, 01 Oktober 2018

MENEMBUS PENASARAN DI KOTA AMBON (Road Show mencari Emas Hijau Bagian 1)


Perjalanan ke timur Indonesia kali ini, selain memakan waktu lama juga cukup memompa andrenalin, Bagaimana tidak,  perjalanan yang dimulai dari minggu malam 01 Oktober 2018 ini, selalu dibanyangi oleh ketakutan akan kejadian bencana alam besar yang baru saja terjadi 2 hari sebelum keberangkatanku ke Ambon.

Bencana alam gempa bumi 7,4 richter dan tsunami besar di Palu, Sulawesi tenggara,yang menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal dan masih banyak yang belum ditemukan karena terseret Tsunami serta terkubur dalam lumpur tanah dan air. Membuatku agak ragu untuk pergi, sampai dengan sehari sebelum keberangkatanku, namun karena sudah janji dan   kesempatan ini tak akan datang untuk kedua kali mengunjungi tempat yang paling bersejarah dalam kehidupan Bangsa Indonesia.
Sebelum terbang ke Ambon, kusempatkan untuk explore ke beberapa website dan blog untuk mencari lebih banyak informasi mengenai adat dan budaya orang-orang banda. Ternyata banyak sekali sejarah nya pulau-pulau kecil yang dulunya sangat berharga bagi orang-orang eropa yang mencari Emas Hijau (Pala dan Cengkeh). Portugis, Belanda dan Inggris pernah menguasai pulau-pulau kecil ini sejak abab ke 17.
Jakarta-Ambon 3jam perjalanan dengan pesawat langsung
Minggu malam jam 02.30, Darhani (Driver kantor) sudah mengirimkan pesan via WA kalau dia sdh menunggu depan rumah untuk mengantarkanku ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Walaupun jadwal pesawatku baru akan berangkat 06.30 Wib tapi kami harus datang 2 jam sebelum keberangkatan, belum lagi kawasan Halim yang terkenal sering macet parah. Betul saja dalam perjalanan pintu tol Halim ditutup karena ada kendaraan yang terguling, terpaksa kami memperpanjang rute keluar dari pintu tol Tebet yang cukup jauh memutar, namun untung masih pagi sehingga lalu lintas masih cukup lenggang.  Jam 04.00 kami tiba di Bandara Halim, setelah check in dan loading lugagge, aku masih sempat keluar untuk mengambil uang cash di ATM serta mencari sarapan di salah satu gerai fast food yang berada dilingkungan bandara.
Banyak bangku yang kosong
Bisa sambil tidur-tiduran
Sebelum masuk ke ruang tunggu, masih sempat sholat subuh terlebih dulu di mussolah bandara, hanya butuh 30 menit aku menungu, panggilan untuk naik pesawat sudah diumumkan. Posisi pesawat yang harus ditempuh dengan bus, membuat proses boarding lebih awal. Didalam pesawat baru kusadari kalau penerbangan Batik Air yang langsung ke Ambon ini, hanya terisi 50%  saja, banyak kursi yang kosong, termasuk 2 kursi disampingku..lumayan bisa istirahat lebih nyaman dalam 3 jam penerbangan ini.
Posisi Restoran ini dekat dengan Kampus Universitas Pattimura
Jam 11.30 Wit pesawat landing di Bandara Pattimura – Ambon, sudah ada pak Madi dan pak Angki, staff dari Dinas Pariwisata Prov Maluku yang menjemputku, dalam perjalanan menuju kota Ambon, kami sempat mampir ke Rumah Makan Sari Rasa untuk menikmati ikan laut bakar yang menjadi pavorit orang Ambon. Sesuai jadwal, malam ini aku transit semalam di kota Ambon, sebelum melanjutkan perjalanan ke Kep Banda, Hotel Marina Ambon menjadi pilihan.

Masih ada cukup banyak waktu untuk explore kota Ambon. Beberapa mahasiswa asal Ambon sudah kucoba hubungi, namun ternyata hanya satu orang yang masih tinggal di Kota Ambon, Shaza namanya, ia adalah salah satu mahasiswa program beasiswa yang mewakili provinsi Maluku berkuliah di STP Sahid tahun lalu. Shaza baru bisa datang setelah jam 16.00 Wit, dan langsung menawarkan untuk mencicipi beberapa kuliner khas kota Ambon...yang pertama adalah menikmati kudapan kudapan sore di Coffee Shop ala Ambon, yakni di warung Kopi Tradisi Joast, hidangan yang ditawarkan adalah berbagai macam kopi dan panganan kecil. Pilihan kami adalah Kopi Jahe serta pisang Goreng dan Ubi Goreng yang menjadi menu andalan warung ini. Menurut Shaza, warung sederhana ini menjadi tempat persingahan banyak penjabat penting di Ambon maupun tamu-tamu Jakarta....
Kopi Jahe ala Warung Joast

Kopi dan Gorengan plus Sambal
Selain warung kopi Joast adalagi warung kopi yang cukup terkenal yakni Warung Kopi Shibu-shibu yang berada tak jauh dari warung kopi Joast. Selesai menikmati kudapan Sore, kami sempat mampir ke toko souevenir yang berada disamping warung kopi Joast, buat kenang-kenangan aku membeli sebuah T-Shirt Ambon manise..
Dengan naik angkot yang full musik, kami kemudian menuju pantai Natsepa untuk menikmati makanan khas orang Ambon lainnya yakni Rujak buah, sama dengan rujak-rujak yang ada di pulau Jawa yang membedakannya hanyalah tempatnya... karena sepanjang pantai Natsepa semua orang menjual rujak yang sama, dan anehnya...banyak yang beli.
Pantai Natsepa dengan para pedagang rujak buah
Menjelang Magrib, kami kembali ke pusat kota Ambon, sepanjang perjalanan Shaza menjelaskan beberapa bangunan yang rusak terbakar di sepanjang jalan sebagai akibat konflik agama tahun ditahun 1999 – 2002, bahkan ada beberapa diantaranya baru saja dibakar akibat kerusahan yang sempat terjadi lagi ditahun 2011. Kami berhenti tak Jauh dari Monumen Gong Perdamaian yang letaknya berhadap-hadapan dengan halaman Kantor Gubernur Maluku, disini pula berdiri patung Pattimura, sayang karena sudah gelap hasil jepreten kameraku tak sebagus disiang hari....
Kantor Gubernur Provinsi Maluku
Tugu Pattimura
 Menyusuri pertokoan dan pasar lama yang banyak menjajakan hidangan ikan bakar, kami berhenti disebuah kedai Coto Makassar untuk mengisi perut yang sudah kelaparan lagi.. karena waktu sudah pukul 20.00 Wit, Shaza berpamitan untuk langsung pulang, dan akupun pulang ke hotel dengan Ojek.